Cari Blog Saya (Rengg@)

Kamis, 22 April 2010

Plagiarisme Sebagai Organ Vital Mahasiswa Saat Ini

Dalam buku Bahasa Indonesia: dan menurut Felicia Utorodewo dkk. menggolongkan hal-hal berikut sebagai tindakan plagiarisme :
* Mengakui tulisan orang lain sebagai tulisan sendiri,
* Mengakui gagasan orang lain sebagai pemikiran sendiri
* Mengakui temuan orang lain sebagai kepunyaan sendiri
* Mengakui karya kelompok sebagai kepunyaan atau hasil sendiri,
* Menyajikan tulisan yang sama dalam kesempatan yang berbeda tanpa menyebutkan asal usulnya
* Meringkas dan memparafrasekan (mengutip tak langsung) tanpa menyebutkan sumbernya, dan
* Meringkas dan memparafrasekan dengan menyebut sumbernya, tetapi rangkaian kalimat dan pilihan katanya masih terlalu sama dengan sumbernya.
Membicarakan sosok mahasiwa sebagai panglima masa depan dan kejujuran sebagai dasar yuridisnya adalah suatu hal yang melebih-lebihkan (ideal) dan hal yang munafik. Rusaknya tatanan suatu sistem dapat mengakibatkan dampak ataupun pengaruh perubahan yang luar biasa bagi Struktur, Culture, dan Substansi. Plagiat tidak hanya dilakukan oleh orang yang ingin memperbanyak suatu karyanya dari hasil pengklaiman orang lain tapi sekarang ini sudah kronis dan membudaya dikalangan mahasiswa saat ini bahkan sejak dulu berdirinya dan berakhirnya rezim otoriter di negara indonesia dan apabila hal ini diteruskan maka dunia akademik kemahasiswaan akan berubah nama dan fungsi secara kontekstualnya dalam ranah pendidikan itu sendiri. Mahasiswa seakan-akan seperti membabi buta dalam menciptakan sebuah karya yang diharapkan mampu menjadi pedoman untuk semua aspek dan bukan lagi menjadi “Agen Of Revolutioner” tetapi “Agen Pengklaim” terhadap sebuah karya atau product yang dihasilkan oleh seseorang atau ahli. Kejadian ini melanggar hukum dan menciderai Pasal 2 aya (1)/Pasal 49 ayat (1)dan ayat (2),dan Pasal 72 ayat (1) dan (2) Undang-undang Republik Indonesia No.19/2002 tentang Hak Cipta yang menegaskan bahwa “Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah)”. Pemerintah pusat dan menteri pendidikan seharusnya melakukan amandemen sebuah Undang-undang terkait hal ini agar bisa betul-betul dikondisikan sesuai amanah yang terkandung dalam pembukaan Undang-undang dasar 45’ alinea 4 “mencerdaskan kehidupan bangsa” dan peninjuan untuk mensiasati agar budaya ini bisa teratasi dan bahkan juga bisa dihapus dari dunia mahasiswa walaupun tradisi ini sulit untuk diubah sudah ada sejak berdirinya dan berakhirnya rezim otoriter di negara Indonesia agar sosok mahasiswa bisa menjadi seorang Agen Revolutioner yang benar-benar memiliki skill yang mumpuni dan bisa dijadikan pedoman.

Membabi Butanya Hukum Indonesia akibat Kekuasaan demokrasi palsu.

Indonesia termasuk RULE OF LAW terkenal dengan Azas "Equality Before The Law"yang dimana azas ini menjadi landasan utama dalam sebuah ketatanegaraan. Azas Equality Before The Law yaitu suatu keadaan dimana seorang atau warga negara memiliki persamaan di depan hukum, maka azas ini diberlakukan kepada seluruh warga negara. Bisa dikatakan seperti itu karena hukumnya yang tegas dan tanpa pandang bulu. Tetapi hukum di Indonesia saat mengalami pergeseran arti dan perannya, seakan-akan hukum kita kehilangan taring dan dirampas kehormatannya oleh para Rahwana, sengkuni-sengkuni dan pengikutnya yang menyalah gunakan citra hukum tersebut. Apabila dikaitkan dengan kejadian-kejadian yang terjadi di Negara Kesatuan Repupblik Indonesia Tercinta ini suatu simbol institusi peradilan negara sudah bobrok bahkan bisa dikatakan hancur di balik layar maupun dalam implementasiannya. Begitu lucu and fun apabila Indonesia ini dikatakan sebagai negara hukum karena begitu banyaknya sebuah penyelesaian perkara yang ujung-ujungnya adalah uang dan kasusnya tiba-tiba lenyap begitu saja seperti orang jualan saja. Apakah masyarakatnya yang bodoh dan tidak tahu makna demokrasi itu sendiri atau para penegak hukumnya yang bodoh dan tidak tahu makna hukum dan demokrasi itu sendiri?, dan apakah Pemerintah kita yang dulu salah membuat sebuah institusi peradilan, maupun penegak hukumnya?, dan apakah juga undang-undang kita yang salah?, Masyarakat saat ini seperti dibutakan dan dibodohi sebuah product hukum yang dibuatnya sendiri tidak ada tujuan yang pasti, bahkan hukum yang dibuat salah dalam memberikan sanksi, keadilan yang tak berarah. Semua Penegak hukum maupun para Wakil rakyat yang dipercaya warganya saat ini tidak mempunyai kualitas yang bagus. Demokrasi dan hukum sangat erat kaitannya, apabila Demokrasi itu salah maka hukum akan membenarkan. Kalau kita flash back ke belakang sejenak maka kita akan temukan sebuah fungsi dan tujuan sebuah simbol institusi peradilan ini yang berlandaskan Undang-undang dasar 1945 dan Pancasila secara keseluruhan. Berubahnya institusi tersebut dikarenakan adanya faktor X' dan juga prakteknya pun orang-orang dari lembaga hukum dan juga lembaga peradilan. Faktor X' ini memicu adanya praktek "MARKUS"di seluruh lembaga peradilan negara karena dari faktor X'yang terjadi akan meng-infeksi seluruh jajaran atupun para petinggi negara. Apabila sekarang ini simbol pohon beringin sebagai salah satu simbol institusi peradilan sangat "IMPOSIBLE" pantasnya adalah Pohon Asem yang lebat tetapi bengkok-bengkok, seperti hukum itu sendiri. Bagi saya maupun masyarakat yang paham betul dan peduli akan keadilan sebuah hukum, simbol ini sekarang dapat diistilahkan sebagai "RUMAH PARA ORANG-ORANG BINGUNG DAN BODOH YANG DULUNYA KETIKA MENGENYAM ILMU TIDAK TAHU ILMUNYA DIGUNAKAN UNTUK APA". Keadaan seperti ini tidak ada usaha dari msyarakat untuk menggunakan hak demokrasinya, hanya mahasiswa dan justru harus menjadi motivator bagi seluruh masyarakat,mahasiwa, dan LSM karena kondisi seperti ini sudah tidak kondusif lagi dan harus ada tindakan yang membuat agar kondisi-kondisi seperti ini tidak lagi berjalan, dan harusnya 3 element ini harus bersatu padu dan mengkrtisisasi apabila kondisi ini masih berlangsung, apakah perlu suatu social movement? apakah diperlukannya lagi tragedi reformasi kedua untuk mengkondusifkan lagi sebuah peradilan di negeri tercinta ini? menurut (my filosof)"apabila suatu keadaan tidak bisa memberikan kepercayaan, maka perlunya sebuah perubahan untuk mencapai suatu yang baru yang bisa menjadi pedoman dalam kehidupan bernegara dan apabila sebuah kepercayaan itu di berikan hanya untuk tidak dijalankan maka haruslah sebuah pergerakkan ditegakkan seperti sanksi hukum yang tegas".

Markus sebagai ajang popularitas Perpolitikan Indonesia saat ini

Melihat fenomena pada era reformasi saat ini merupakan suatu perubahan. Perubahan demi perubahan telah terjadi di negara Indonesia tercinta ini melalui segi Ekonomi,Sosial, dan Budaya. Masyarakat Indonesia saat ini tidak menyadari bahwa sebenarnya mereka telah menggunakan suatu product kapitalis dengan jumlah yang sangat banyak, terlebih product-product dari dalam negeripun cenderung mereka gunakan dan terlebih lagi masalah sekarang ini yang paling fenomenal dan sangat-sangat memprihatinkan adalah Hukum di indonesia yang sudah tidak jelas arah dan tujuannya dan juga praktek KKN yang sudah meluas. Undang-undang yang berlaku sekarang ini seperti lembaran-lembaran kertas yang tak berguna yang pada intinya mereka tinggalkan, mengesampingkan mereka dan hukum digunakan seperti kedok bagi para penegak hukum saat ini terlebih itu pula lembaga peradilan juga ikut menerapkan dan menggunakan mekanisme tersebut. Salah satu bahan konsumsi bagi para konsumen (masyarakat) Indonesia saat ini adalah meluasnya MARKUS yang tiada henti menggerogoti dan menyebarkan virus kedalam sebuah sistem maupun badan-badan hukum yang diterapkan diindonesia beserta larangan-larangan yang seharusnya tidak disalahgunakan.
Pemerintah sebenarnya sudah membentuk sebuah tim khusus untuk menangani MARKUS tersebut yaitu SATGAS MARKUS tetapi apabila kita analogi sejenak dan membuat sebuah contoh kecil tentang kebijakan pemerintah saat ini yaitu “pemerintah seperti membuat sebuah sapu yang apabila sapu tersebut kotor dan tetap digunakan untuk menyapu lantai, otomatis kotoran itu tidak akan pernah hilang sebelum sapu itu dibersihkan terlebih dahulu”. Apabila kita benar-benar ingin membersihkan markus, seharusnya kita bersihkan dahulu markus-markus yang ada didalam satgas mafia peradilan tersebut. Memberantas ataupun merubah sebuah kondisi memang sangat tidak mudah dan diperlukan pula peran serta masyarakat sebagai pendukung bergeraknya perubahan tersebut agar masyarakat tidak menjadi penonton umum ataupun kambing congek dan paling parah adalah masyarakat saat ini seperti bayi yang disusui, tetapi agar masyarakat tahu dan paham betul tentang kebijakan yang telah dilaksanakan oleh pemerintah untuk memberantas markus tersebut. Praktek markus saat ini dilihat sepak terjangnya semata-mata sebagai ajang menaikkan popularitas atau rating dunia politik di indonesia agar seluruh negara-negara tahu dan mengakui bahwa markus adalah alat untuk menaikkan popularitas dunia politik di Indonesia. Dilihat dari lembaga-lembaga peradilan, lembaga-lembaga negara maupun penegak hukum, mereka sebenarnya memperebutkan simpati dari masyarakat ataupun presiden agar sepak terjang mereka mendapat pengakuan dan kepercayaan dari masyarakat ataupun presiden sebagai lembaga-lembaga peradilan, lembaga-lembaga negara maupun penegak hukum yang benar-benar bekerja dan mengemban tugas negara dan bertanggung jawab kepada masyarakat sebagai badan hukum negara yang ideal. Dari keadaan tersebut dapat diatarik kesimpulan bahwa sebenarnya timbulnya MARKUS adalah sebagai perebutan hak kewenangan atas masyarakat dan bersamaan dengan itu praktek suap, korupsipun terjadi, dan hukum di Indonesia seperti jual beli sapi (Hukum, aturan yang ditetapkan negara yang diperjual belikan). Dari data statistik ini dapat digaris bawahi bahwa masyarakat saat ini tidak begitu paham tentang prektek Markus tersebut dan akhirnya timbulnya polemik-polemik tentang hal ini dan padahal masyarakat saat ini suadah tahu arti atau definisi tentang MARKUS dengan Mafia Peradilan, tapi dalam penerapan gerakkan untuk mengkrtisisasi itu masil 0’ (Nol). M asyarakat berpendapat bahwa mereka setuju dengan diadakannya Satgas Mafia Peradilan, tetapi mekanisme kedepannya masih belum tahu pasti apakah akan berhasil membawa era perubahan Indonesia Baru yang bersih tanpa K.K.N maupun MARKUS?ataukah akan membawa Indonesia semakin menjadi negara yang hanya bisa saling menyalahkan satu sama lainnya?. Keberadaan markus semakin menjadi-jadi di lingkungan peradilan maupun jajaran pemerintah. Indonesia saat ini mengalami kemunduran moral sangat luar biasa dan begitu juga dengan hukum pada saat ini, bukan berazaskan U.U.D 45 dan Pancasila tetapi berazaskan Uang “No Money, NO Justice”. Pada saat ini Indonesia adalah negara terkorup urutan ke-3 (tiga) dunia. Upaya yang dilakukan pemerintah dalam mengatasi negara yang bernotaben KORUP sangat sulit dan yang membawa atau menjadikan Indonesia negara terkorup di urutan ke-3 (tiga) sebenarnya adalah para petinggi negara dalam sistem pemerintahan tersebut. Apakah hal ini kegagalan pemerintah?ataupun pelaksanaan Undang-undangnya?Indonesia sudah mengalami kegagalan dalam dunia perpolitikan hingga MARKUS dijadikan sebagai landasan utama dalam berpolitik tetapi dimata dunia dan negara lain itu sudah merupakan prestasi untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Begitu lucu bila hal tersebut digunakan Indonesia sebagai acuan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Para MARKUS sedang asyik mendalangi sebuah cerita dan masyarakat menjadi korbannya. Sudah tidak ada kejelasan dan keseimbangan lagi hukum diindonesia ini, pelaku markus yang menghilangkan uang negara hanya dihukum ringan sedangkan bagi rakyat dihukum berat, dan apabila diadakannya reformasi ke-2 (dua) itu bukan salah masyarakat dan para mahasiswa yang berperan penting dalam era perubahan tapi itu adalah kesalahan yang dilakukan pemerintah sendiri, sehingga untuk menutupinya pemerintah seakan-akan memfitnah para sosok yang berperan aktif ini.