Dalam buku Bahasa Indonesia: dan menurut Felicia Utorodewo dkk. menggolongkan hal-hal berikut sebagai tindakan plagiarisme :
* Mengakui tulisan orang lain sebagai tulisan sendiri,
* Mengakui gagasan orang lain sebagai pemikiran sendiri
* Mengakui temuan orang lain sebagai kepunyaan sendiri
* Mengakui karya kelompok sebagai kepunyaan atau hasil sendiri,
* Menyajikan tulisan yang sama dalam kesempatan yang berbeda tanpa menyebutkan asal usulnya
* Meringkas dan memparafrasekan (mengutip tak langsung) tanpa menyebutkan sumbernya, dan
* Meringkas dan memparafrasekan dengan menyebut sumbernya, tetapi rangkaian kalimat dan pilihan katanya masih terlalu sama dengan sumbernya.
Membicarakan sosok mahasiwa sebagai panglima masa depan dan kejujuran sebagai dasar yuridisnya adalah suatu hal yang melebih-lebihkan (ideal) dan hal yang munafik. Rusaknya tatanan suatu sistem dapat mengakibatkan dampak ataupun pengaruh perubahan yang luar biasa bagi Struktur, Culture, dan Substansi. Plagiat tidak hanya dilakukan oleh orang yang ingin memperbanyak suatu karyanya dari hasil pengklaiman orang lain tapi sekarang ini sudah kronis dan membudaya dikalangan mahasiswa saat ini bahkan sejak dulu berdirinya dan berakhirnya rezim otoriter di negara indonesia dan apabila hal ini diteruskan maka dunia akademik kemahasiswaan akan berubah nama dan fungsi secara kontekstualnya dalam ranah pendidikan itu sendiri. Mahasiswa seakan-akan seperti membabi buta dalam menciptakan sebuah karya yang diharapkan mampu menjadi pedoman untuk semua aspek dan bukan lagi menjadi “Agen Of Revolutioner” tetapi “Agen Pengklaim” terhadap sebuah karya atau product yang dihasilkan oleh seseorang atau ahli. Kejadian ini melanggar hukum dan menciderai Pasal 2 aya (1)/Pasal 49 ayat (1)dan ayat (2),dan Pasal 72 ayat (1) dan (2) Undang-undang Republik Indonesia No.19/2002 tentang Hak Cipta yang menegaskan bahwa “Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah)”. Pemerintah pusat dan menteri pendidikan seharusnya melakukan amandemen sebuah Undang-undang terkait hal ini agar bisa betul-betul dikondisikan sesuai amanah yang terkandung dalam pembukaan Undang-undang dasar 45’ alinea 4 “mencerdaskan kehidupan bangsa” dan peninjuan untuk mensiasati agar budaya ini bisa teratasi dan bahkan juga bisa dihapus dari dunia mahasiswa walaupun tradisi ini sulit untuk diubah sudah ada sejak berdirinya dan berakhirnya rezim otoriter di negara Indonesia agar sosok mahasiswa bisa menjadi seorang Agen Revolutioner yang benar-benar memiliki skill yang mumpuni dan bisa dijadikan pedoman.
Kamis, 22 April 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar