Cari Blog Saya (Rengg@)

Senin, 24 Mei 2010

Demokrasi Dan Sejarah

Pengertian tentang demokrasi dapat dilihat dari tinjauan bahasa (etimologis) dan istilah (terminologis). Secara etimologis “demokrasi” terdiri dari dua kata yang berasal dari bahasa Yunani, yaitu “demos” yang berarti rakyat atau penduduk suatu tempat dan “cratein” yang berarti kekuasaan atau kedaulatan. (Dede Rosyada dkk, 2005). Jadi secara bahasa demos-cratein atau demos-cratos (demokrasi) adalah keadaan negara di mana dalam sistem pemerintahannya kedaulatan berada di tangan rakyat, kekuasaan tertinggi berada dalam keputusan bersama rakyat, rakyat berkuasa, pemerintahan rakyat dan kekuasaan oleh rakyat. Saat ini konsep demokrasi merupakan kata kunci dalam bidang politik, dan menjadi indicator perkembangan politik suatu negara. Demokrasi adalah bentuk atau mekanisme sistem pemerintahan suatu negara sebagai usaha mewujudkan kedaulatan rakyat (kekuasaan warga negara) atas negara untuk dijalankan oleh pemerintah negara tersebut. Menurut Hans Kelsen, pada dasarnya demokrasi itu adalah pemerintahan oleh rakyat dan untuk rakyat. Salah satu pilar demokrasi adalah prinsip trias politica yang membagi tiga kekuasaan politik negara untuk mewujudkan lembaga-lembaga pemerintah yang berwenang melaksanakan kewenangan eksekutif (lembaga eksekutif), lembaga-lembaga pengadilan yang berwenang menjalankan kewenangan yudikatif (lembaga yudikatif), dan lembaga-lembaga perwakilan rakyat (di Indonesia DPR) yang berwenang menyelenggarakan kekuasaan legislative (lembaga legislatif). Di mana ketiga lembaga negara ini saling lepas (independen) dan sejajar satu sama lain, agar bisa saling mengawasi berdasarkan prinsip checks and balances.
Demokrasi adalah bentuk atau mekanisme sistem pemerintahan suatu negara sebagai upaya mewujudkan kedaulatan rakyat (kekuasaan warganegara) atas negara untuk dijalankan oleh pemerintah negara tersebut. Salah satu pilar demokrasi adalah prinsip trias politica yang membagi ketiga kekuasaan politik negara (eksekutif, yudikatif dan legislatif) untuk diwujudkan dalam tiga jenis lembaga negara yang saling lepas (independen) dan berada dalam peringkat yg sejajar satu sama lain. Kesejajaran dan independensi ketiga jenis lembaga negara ini diperlukan agar ketiga lembaga negara ini bisa saling mengawasi dan saling mengontrol berdasarkan prinsip checks and balances. Ketiga jenis lembaga-lembaga negara tersebut adalah lembaga-lembaga pemerintah yang memiliki kewenangan untuk mewujudkan dan melaksanakan kewenangan eksekutif, lembaga-lembaga pengadilan yang berwenang menyelenggarakan kekuasaan judikatif dan lembaga-lembaga perwakilan rakyat (DPR, untuk Indonesia) yang memiliki kewenangan menjalankan kekuasaan legislatif. Di bawah sistem ini, keputusan legislatif dibuat oleh masyarakat atau oleh wakil yang wajib bekerja dan bertindak sesuai aspirasi masyarakat yang diwakilinya (konstituen) dan yang memilihnya melalui proses pemilihan umum legislatif, selain sesuai hukum dan peraturan. Selain pemilihan umum legislatif, banyak keputusan atau hasil-hasil penting, misalnya pemilihan presiden suatu negara, diperoleh melalui pemilihan umum. Pemilihan umum tidak wajib atau tidak mesti diikuti oleh seluruh warganegara, namun oleh sebagian warga yang berhak dan secara sukarela mengikuti pemilihan umum. Sebagai tambahan, tidak semua warga negara berhak untuk memilih (mempunyai hak pilih).
Kedaulatan rakyat yang dimaksud di sini bukan dalam arti hanya kedaulatan memilih presiden atau anggota-anggota parlemen secara langsung, tetapi dalam arti yang lebih luas. Suatu pemilihan presiden atau anggota-anggota parlemen secara langsung tidak menjamin negara tersebut sebagai negara demokrasi sebab kedaulatan rakyat memilih sendiri secara langsung presiden hanyalah sedikit dari sekian banyak kedaulatan rakyat. Walapun perannya dalam sistem demokrasi tidak besar, suatu pemilihan umum sering dijuluki pesta demokrasi. Ini adalah akibat cara berpikir lama dari sebagian masyarakat yang masih terlalu tinggi meletakkan tokoh idola, bukan sistem pemerintahan yang bagus, sebagai tokoh impian ratu adil. Padahal sebaik apa pun seorang pemimpin negara, masa hidupnya akan jauh lebih pendek daripada masa hidup suatu sistem yang sudah teruji mampu membangun negara. Banyak negara demokrasi hanya memberikan hak pilih kepada warga yang telah melewati umur tertentu, misalnya umur 18 tahun, dan yang tak memliki catatan kriminal (misal, narapidana atau bekas narapidana).
Isitilah “demokrasi” berasal dari Yunani Kuno yang diutarakan di Athena kuno pada abad ke-5 SM. Negara tersebut biasanya dianggap sebagai contoh awal dari sebuah sistem yang berhubungan dengan hukum demokrasi modern. Namun, arti dari istilah ini telah berubah sejalan dengan waktu, dan definisi modern telah berevolusi sejak abad ke-18, bersamaan dengan perkembangan sistem “demokrasi” di banyak negara. Kata “demokrasi” berasal dari dua kata, yaitu demos yang berarti rakyat, dan kratos/cratein yang berarti pemerintahan, sehingga dapat diartikan sebagai pemerintahan rakyat, atau yang lebih kita kenal sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Konsep demokrasi menjadi sebuah kata kunci tersendiri dalam bidang ilmu politik. Hal ini menjadi wajar, sebab demokrasi saat ini disebut-sebut sebagai indikator perkembangan politik suatu negara.
Demokrasi menempati posisi vital dalam kaitannya pembagian kekuasaan dalam suatu negara (umumnya berdasarkan konsep dan prinsip trias politica) dengan kekuasaan negara yang diperoleh dari rakyat juga harus digunakan untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Prinsip semacam trias politica ini menjadi sangat penting untuk diperhitungkan ketika fakta-fakta sejarah mencatat kekuasaan pemerintah (eksekutif) yang begitu besar ternyata tidak mampu untuk membentuk masyarakat yang adil dan beradab, bahkan kekuasaan absolut pemerintah seringkali menimbulkan pelanggaran terhadap hak-hak asasi manusia.
Demikian pula kekuasaan berlebihan di lembaga negara yang lain, misalnya kekuasaan berlebihan dari lembaga legislatif menentukan sendiri anggaran untuk gaji dan tunjangan anggota-anggotanya tanpa mempedulikan aspirasi rakyat, tidak akan membawa kebaikan untuk rakyat. Intinya, setiap lembaga negara bukan saja harus akuntabel (accountable), tetapi harus ada mekanisme formal yang mewujudkan akuntabilitas dari setiap lembaga negara dan mekanisme ini mampu secara operasional (bukan hanya secara teori) membatasi kekuasaan lembaga negara tersebut.
PERKEMBANGAN DEMOKRASI DI INDONESIA
A. Pengertian Demokrasi

Demokrasi adalah bentuk atau mekanisme sistem pemerintahan suatu negara sebagai upaya mewujudkan kedaulatan rakyat (kekuasaan warganegara) atas negara untuk dijalankan oleh pemerintah negara tersebut. Salah satu pilar demokrasi adalah prinsip trias politica yang membagi ketiga kekuasaan politik negara (eksekutif, yudikatif dan legislatif) untuk diwujudkan dalam tiga jenis lembaga negara yang saling lepas (independen) dan berada dalam peringkat yg sejajar satu sama lain. Kesejajaran dan independensi ketiga jenis lembaga negara ini diperlukan agar ketiga lembaga negara ini bisa saling mengawasi dan saling mengontrol berdasarkan prinsip checks and balances. Ketiga jenis lembaga-lembaga negara tersebut adalah lembaga-lembaga pemerintah yang memiliki kewenangan untuk mewujudkan dan melaksanakan kewenangan eksekutif, lembaga-lembaga pengadilan yang berwenang menyelenggarakan kekuasaan judikatif dan lembaga-lembaga perwakilan rakyat (DPR, untuk Indonesia) yang memiliki kewenangan menjalankan kekuasaan legislatif. Di bawah sistem ini, keputusan legislatif dibuat oleh masyarakat atau oleh wakil yang wajib bekerja dan bertindak sesuai aspirasi masyarakat yang diwakilinya (konstituen) dan yang memilihnya melalui proses pemilihan umum legislatif, selain sesuai hukum dan peraturan. Selain pemilihan umum legislatif, banyak keputusan atau hasil-hasil penting, misalnya pemilihan presiden suatu negara, diperoleh melalui pemilihan umum. Pemilihan umum tidak wajib atau tidak mesti diikuti oleh seluruh warganegara, namun oleh sebagian warga yang berhak dan secara sukarela mengikuti pemilihan umum. Sebagai tambahan, tidak semua warga negara berhak untuk memilih (mempunyai hak pilih). Kedaulatan rakyat yang dimaksud di sini bukan dalam arti hanya kedaulatan memilih presiden atau anggota-anggota parlemen secara langsung, tetapi dalam arti yang lebih luas. Suatu pemilihan presiden atau anggota-anggota parlemen secara langsung tidak menjamin negara tersebut sebagai negara demokrasi sebab kedaulatan rakyat memilih sendiri secara langsung presiden hanyalah sedikit dari sekian banyak kedaulatan rakyat. Walapun perannya dalam sistem demokrasi tidak besar, suatu pemilihan umum sering dijuluki pesta demokrasi. Ini adalah akibat cara berpikir lama dari sebagian masyarakat yang masih terlalu tinggi meletakkan tokoh idola, bukan sistem pemerintahan yang bagus, sebagai tokoh impian ratu adil. Padahal sebaik apa pun seorang pemimpin negara, masa hidupnya akan jauh lebih pendek daripada masa hidup suatu sistem yang sudah teruji mampu membangun negara. Banyak negara demokrasi hanya memberikan hak pilih kepada warga yang telah melewati umur tertentu, misalnya umur 18 tahun, dan yang tak memliki catatan kriminal (misal, narapidana atau bekas narapidana).
B. Sejarah Perkembangan Demokrasi
Isitilah “demokrasi” berasal dari Yunani Kuno yang diutarakan di Athena kuno pada abad ke-5 SM. Negara tersebut biasanya dianggap sebagai contoh awal dari sebuah sistem yang berhubungan dengan hukum demokrasi modern. Namun, arti dari istilah ini telah berubah sejalan dengan waktu, dan definisi modern telah berevolusi sejak abad ke-18, bersamaan dengan perkembangan sistem “demokrasi” di banyak negara. Kata “demokrasi” berasal dari dua kata, yaitu demos yang berarti rakyat, dan kratos/cratein yang berarti pemerintahan, sehingga dapat diartikan sebagai pemerintahan rakyat, atau yang lebih kita kenal sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Konsep demokrasi menjadi sebuah kata kunci tersendiri dalam bidang ilmu politik. Hal ini menjadi wajar, sebab demokrasi saat ini disebut-sebut sebagai indikator perkembangan politik suatu negara. Demokrasi menempati posisi vital dalam kaitannya pembagian kekuasaan dalam suatu negara (umumnya berdasarkan konsep dan prinsip trias politica) dengan kekuasaan negara yang diperoleh dari rakyat juga harus digunakan untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Prinsip semacam trias politica ini menjadi sangat penting untuk diperhitungkan ketika fakta-fakta sejarah mencatat kekuasaan pemerintah (eksekutif) yang begitu besar ternyata tidak mampu untuk membentuk masyarakat yang adil dan beradab, bahkan kekuasaan absolut pemerintah seringkali menimbulkan pelanggaran terhadap hak-hak asasi manusia. Demikian pula kekuasaan berlebihan di lembaga negara yang lain, misalnya kekuasaan berlebihan dari lembaga legislatif menentukan sendiri anggaran untuk gaji dan tunjangan anggota-anggotanya tanpa mempedulikan aspirasi rakyat, tidak akan membawa kebaikan untuk rakyat.
Intinya, setiap lembaga negara bukan saja harus akuntabel (accountable), tetapi harus ada mekanisme formal yang mewujudkan akuntabilitas dari setiap lembaga negara dan mekanisme ini mampu secara operasional (bukan hanya secara teori) membatasi kekuasaan lembaga negara tersebut.
C. Perkembangan Demokrasi di Indonesia Semenjak kemerdekaan 17 agustus 1945, Undang Undang Dasar 1945 memberikan penggambaran bahwa Indonesia adalah negara demokrasi.
Dalam mekanisme kepemimpinannya Presiden harus bertanggung jawab kepada MPR dimana MPR adalah sebuah badan yang dipilih dari Rakyat. Sehingga secara hirarki seharusnya rakyat adalah pemegang kepemimpinan negara melalui mekanisme perwakilan yang dipilih dalam pemilu. Indonesia sempat mengalami masa demokrasi singkat pada tahun 1956 ketika untuk pertama kalinya diselenggarakan pemilu bebas di indonesia, sampai kemudian Presiden Soekarno menyatakan demokrasi terpimpin sebagai pilihan sistem pemerintahan. Setelah mengalami masa Demokrasi Pancasila, sebuah demokrasi semu yang diciptakan untuk melanggengkan kekuasaan Soeharto, Indonesia kembali masuk kedalam alam demokrasi pada tahun 1998 ketika pemerintahan junta militer Soeharto tumbang. Pemilu demokratis kedua bagi Indonesia terselenggara pada tahun 1999 yang menempatkan Partai Demokrasi Indonesia-Perjuangan sebagai pemenang Pemilu. Tumbangnya Orde Baru pada tanggal 21 Mei 1998, adalah momentum pergantian kekuasaan yang sangat revolusioner dan bersejarah di negara ini. Dan pada tanggal 5 Juli 2004, terjadilah sebuah pergantian kekuasaan lewat Pemilu Presiden putaran pertama. Pemilu ini mewarnai sejarah baru Indonesia, karena untuk pertama kali masyarakat memilih secara langsung presidennya. Sebagai bangsa yang besar tentu kita harus banyak menggali makna dari sejarah. Hari Kamis, 21 Mei 1998, dalam pidatonya di Istana Negara Presiden Soeharto akhirnya bersedia mengundurkan diri atau lebih tepatnya dengan bahasa politis ia menyatakan “berhenti sebagai presiden Indonesia”. Momentum lengser keprabon-nya Raja Indonesia yang telah bertahta selama 32 tahun ini tentu sangat mengejutkan berbagai pihak. Karena sehari sebelumnya ia sudah berniat akan segera membentuk Kabinet Reformasi. Setelah melalui saat-saat yang menegangkan, akhirnya rezim yang begitu kokoh dan mengakar ini berhasil ditumbangkan. Gerakan mahasiswa sekali lagi menjadi kekuatan terpenting dalam proses perubahan ini. Sebuah perubahan yang telah memakan begitu banyak korban, baik korban harta maupun nyawa. Kontan saja mahasiswa kala itu langsung bersorak-sorai, menangis gembira, dan bersujud syukur atas keberhasilan perjuangannya menumbangkan rezim Orde Baru. Setelah tumbangnya Orde Baru tibalah detik-detik terbukanya pintu reformasi yang telah begitu lama dinanti. Secercah harapan berbaur kecemasan mengawali dibukanya jendela demokrasi yang selama tiga dasawarsa telah ditutup oleh pengapnya otoritarianisme Orde Baru. Momentum ini menjadi penanda akan dimulainya transisi demokrasi yang diharapkan mampu menata kembali indahnya taman Indonesia. Pada hari-hari selanjutnya kata “reformasi” meskipun tanpa ada kesepakatan tertulis menjadi jargon utama yang menjiwai ruh para pejuang pro-demokrasi. Selang tiga tahun pasca turunnya Soeharto dari tahun 1998 sampai 2000, telah terjadi tiga kali pergantian rezim yang memunculkan nama-nama:Habibie, Gus Dur, dan Megawati sebagai presiden Republik Indonesia. Dan duduknya ketiga presiden baru tersebut, juga diwarnai dengan perjuangan yang sengit dan tak kalah revolusioner. Lagi-lagi untuk kesekian kalinya mahasiswa menjadi avant guard yang Mendobrak perubahan tersebut.
Megawati yang baru satu tahun mencicipi empuknya kursi presiden pun oleh mahasiswa kembali dituntut mundur lantaran dianggap gagal dan tidak bisa memenuhi amanat reformasi. Pada tanggal 21 Mei 2003, di hampir seluruh penjuru Indonesia mahasiswa turun ke jalan kembali dan menuntut segera turunnya pemerintahan Megawati. Sekaligus pada hari itu juga mahasiswa secara resmi mendeklarasikan “Matinya Reformasi” dan bahkan lebih jauh lagi memunculkan jargon baru yaitu “Revolusi”. Munculnya jargon baru ini menjadi diskursus yang cukup hangat diperbincangkan. Jargon ini kemudian merebak dan dengan cepat menjangkiti elemen prodemokrasi lainya yang juga menghendaki proses demokratisasi secara lebih cepat. Mahasiswa pun lantas menantang kalau memang tidak ada seorang pun tokoh reformis yang layak dan sanggup mengawal transisi demokrasi, maka saatnya kaum muda memimpin. Dari sepenggal perjalanan sejarah perjuangan mahasiswa tersebut, kita bisa melihat betapa serius, visioner, dan revolusionernya tekad mereka untuk mewujudkan transisi demokrasi yang sesungguhnya. Namun, ketika kita mengaca pada sejarah secara objektif, kita akan menemukan bahwa masa transisi demokrasi di negara dunia ketiga rata-rata membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Yaitu, antara 20 sampai 25 tahun, yang artinya itu empat sampai lima kali Pemilu di Indonesia. Itupun kalau memenuhi beberapa syarat dan tahapan yang normal. Menurut pemetaan Samuel Huntington (Gelombang Demokratisasi Ketiga, Pustaka Grafiti Press:1997, hal.45), pada tingkatan paling sederhana, demokratisasi mensyaratkan tiga hal : berakhirnya sebuah rezim otoriter, dibangunnya sebuah rezim demokratis, serta konsolidasi kekuatan prodemokrasi. Sedikit berbeda Eep Syaefullah Fatah dalam bukunya Zaman Kesempatan; Agenda-agenda Besar Demokratisasi Pasca Orde Baru, (Mizan, 2000, hal. xxxviii-xli), mengajukan empat tahapan proses demokratisasi dengan mengaca pada pengalaman di Indonesia. Tahapan pertama, berjalan sebelum keruntuhan rezim otoritarian atau totalitarian. Tahapan ini disebutnya dengan Pratransisi. Tahapan kedua, terjadinya liberalisasi politik awal. Dan tahap ini ditandai dengan terjadinya Pemilu yang demokratis serta regulasi kekuasaan sebagai konsekuensi dari hasil Pemilu. Tahapan ketiga adalah Transisi. Tahapan ini ditandai adanya pemerintahan atau pemimpin baru yang bekerja dengan legitimasi yang kuat. Kemudian yang terakhir, tahap keempat adalah Konsolidasi Demokrasi. Tahap ini menurut Eep membutuhkan waktu cukup lama, karena juga harus menghasilkan perubahan paradigma berpikir, pola perilaku, tabiat serta kebudayaan dalam masyarakat Lantas bagaimana dengan proses transisi demokrasi yang terjadi di Indonesia? Itulah pertanyaan yang harus kita jawab secara objektif dan kita jadikan dasar evaluasi. Esensi konsolidasi demokrasi sebenarnya adalah ketika telah terbentuknya suatu paradigma berfikir, perilaku dan sikap baik di tingkat elit maupun massa yang mencakup dan bertolak dari prinsip-prinsip demokrasi. Dan untuk konteks Indonesia seharusnya konsolidasi demokrasi ditandai dengan adanya efektifitas pemerintahan, stabilitas politik, penegakan supremasi hukum serta pulihnya kehidupan ekonomi. Sebenarnya satu parameter yang paling sederhana dan sekaligus menjadi akar permasalahan reformasi dan transisi demokrasi di Indonesia adalah korupsi. Karena yang namanya demokrasi dan reformasi selamanya tidak akan pernah bisa bersatu dan berjalan beriringan bersama korupsi. Padahal justru di Indonesia korupsi telah menjadi tradisi karena berawal dari proses massallisasi dan formallisasi. Korupsi telah terlanjur dianggap wajar dan biasa dalam masyarakat. Kalau dulu era Orde Baru korupsinya masih di bawah meja, kemudian era reformasi korupsinya sudah berani di atas meja. Dan lebih hebatnya lagi sekarang ini sekalian mejanya dikorupsi. Sementara itu dalam perkembangan ekonomi, beberapa ekonom memang mengacungkan jempol kepada Megawati atas kebijakan ekonomi makronya. Karena secara makro telah terjadi stabilitas ekonomi yang cukup mantap. Itu ditandai dengan naiknya PDB (Product Domestic Bruto) pada kisaran 4%, nilai tukar rupiah juga mulai stabil, cadangan devisa yang mencapai 35 Miliar, nilai eksport di atas 5 Miliar, serta inflasi yang hanya 5% pada tahun 2003. Bahkan yang lebih fantastis lagi IHSG BEJ (Indeks Harga Saham Gabungan Bursa Efek Jakarta) berhasil mencetak rekor tutup tahun 2003 dengan kenaikan 62,8% dan memasuki tahun 2004 dengan menyentuh level psikologis 700, bahkan sempat berada pada posisi tertinggi 786. Namun demikian bagaimana dengan nasib kehidupan ekonomi kawulo alit. Secara sederhana kita bisa melihat pada angka pengangguran yang naik cukup signifikan apalagi ditambah PHK besar-besaran di beberapa perusahaan. Kemudian kemarin kita juga melihat terjadi penggusuran paksa PKL (Pedagang Kaki Lima) dan angkringan di Malioboro, dan masyarakat kecil di ibu kota yang tidak punya tempat tinggal untuk sekadar berteduh. Akhirnya beberapa prestasi kebijakan ekonomi makropun terkubur oleh kurang diperhitungkanya nasib wong cilik. Secara singkat ternyata reformasi dan demokratisasi yang terjadi di Indonesia masih sebatas liberalisasi politik belaka, tanpa diikuti fase demokratisasi yang bermuara pada suatu konsolidasi. Barangkali inilah yang disebut Sorensen dalam buku Demokrasi dan Demokratisasi: Proses dan Prospek dalam Sebuah Dunia yang sedang Berubah. (Pustaka Pelajar dan CCSS, 2003), dengan frozen democracy, dimana sistem politik demokrasi yang sedang bersemi berubah menjadi layu karena berbagai kendala yang ada. Akibatnya proses perubahan politik tidak menuju pada pembentukan sosial politik yang demokratis, tetapi malah menyimpang atau bahkan berlawanan dengan arah yang dicita-citakan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar